Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) disusun setiap tahun oleh Pemerintah dan ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI. Penyusunan APBN tidak terlepas dari kebijakan fiskal yg ditetapkan Pemerintah melalui Menteri Keuangan. Disamping itu, penyusunan APBN juga tidak terlepas dari Asumsi Makro Ekonomi yg ditetapkan Pemerintah. Asumsi makro ekonomi yg biasa dijadikan barometer dan patokan dlm penyusunan APBN meliputi; (1) pertumbuhan ekonomi, (2) tingkat inflasi, (3) nilai tukar rupiah terhadap US dollar, (4) suku bunga SBI 3 bulan kedepan, (5) harga minyak (ICP), (6) lifting oils (kapasitas produksi minyak per hari).
Paradigma penggunaan asumsi makro ekonomi dalam penyusunan APBN dilatarbelakangi oleh pemikiran bahwa stabilitas ekonomi diperlukan dalam rangka mempertahankan tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan. Sebagaimana anggapan ekonom kapitalis, bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil merupakan jalan untuk menyelesaikan problem perekonomian. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan dicapai bergeraknya sektor ekonomi sehingga akan melahirkan banyak lapangan pekerjaan. Dengan demikian, pengangguran akan dapat diatasi, begitu pula angka kemiskinan secara otomatis dapat dikurangi.
Kebohongan di balik Asumsi Ekonomi Makro
Sadar atau tidak, sebenarnya kita telah lama dibohongi dengan konsep asumsi ekonomi makro yang saat ini dipergunakan dalam penyusunan APBN. Apa yang dikatakan bahwa pemerintah telah berhasil mencapai target pertumbuhan ekonomi yang tercantum dalam asumsi ekonomi makro APBN adalah sesuatu yang menyesatkan. Dicapainya target pertumbuhan ekonomi tersebut, seolah-olah pemerintah tengah membodohi rakyat bahwa masalah kemiskinan dan pengangguran telah diatasi, tingkat kesenjangan penghasilan masyarakat dapat teratasi, eksploitasi si miskin oleh si kaya dapat dihilangkan. Semua khayalan ekonom kapitalis tersebut pada dasarnya telah disingkap ke permukaan hingga menjadi rahasia umum. Begitu banyak pemerhati ekonomi yang sudah mengetahui bahwa tercapainya target pertumbuhan ekonomi sama sekali tidak menjadikan angka kemiskinan berkurang, pengangguran dapat diselesaikan, problem buruh majikan terselesaikan.
Justru yang terjadi adalah bertambahnya angka kemiskinan, pengangguran, semakin jauhnya ketimpangan ekonomi antara si kaya dan si miskin serta buruh dan majikan. Kekeliruan ini sebenarnya berawal dari kesalahan paradigma dalam memandang problem ekonomi, yang mana untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan pengangguran dapat dilakukan melalui pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional yang tinggi. Dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi maka diharapkan akan memacu naiknya pendapatan nasional (GNP) suatu negara, tingginya GNP suatu negara “diharapkan” dapat menyelesaikan kemiskinan dan pengangguran.
Kalau kita lihat secara jernih, angka pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional yang tinggi hanya dinikmati oleh sekelompok minoritas [pengusaha] yang menguasai sumber-sumber ekonomi. Naiknya jumlah barang dan jasa adalah naiknya barang dan jasa milik para pemilik modal yang menguasai sumber-sumber ekonomi. Begitu pula pendapatan nasional yang tinggi sesungguhnya hanyalah pendapataan segelintir orang. Sementara kebanyakan masyarakat hanyalah memperolah sebagian kecil sisa-sisa pendapatan nasional tersebut. Hal ini dikarenakan sumber-sumber ekonomi banyak dikuasai oleh para kapitalis/pemodal, sementara masyarakat luas tidak memperolah akses yang cukup atas sumber-sumber ekonomi tersebut.
Hal tersebut bisa kita ilustrasikan sebagai berikut: tengoklah misalnya pendapatan nasional (GNP) suatu negara adalah Rp 2.000 triliun, dari angka tersebut para pemilik modal yang minoritas jumlahnya (mis: 1%) mempunyai bagian yang besar (misal: 80% dari GNP atau Rp 1.600 T), sementara sisanya yang 20% dari GNP atau 400 T harus dibagi dengan penduduk yang jumlahnya mencapai 99% dari jumlah penduduk. (lihat tabel A.1)
Tabel A.1
Kelompok Masyarakat Komposisi Penduduk GNP Prosentase GNP
Minoritas/Pemodal 1 % 1.600 T 80 %
Mayoritas/Rakyat biasa 99 % 400 T 20 %
Jumlah 100 % 2.000 T 100 %
Anggaplah di tahun berikutnya, pertumbuhan ekonomi dicapai 10 %, maka pendapatan nasional akan menjadi Rp 2.200 T. maka distribusi pendapatan nasional tersebut akan mengikuti prosentase kapasitas tahun sebelumnya, dan tidak jauh bergeser, apabila struktur ekonomi tidak berubah (sumber-sumber ekonomi dikuasai minoritas) komposisi distribusi GNP tahun berikutnya sebagai berikut.
Tabel A.2. Tahun 20×1
Kelompok Masyarakat Komposisi Penduduk GNP Distribusi GNP
Minoritas/Pemodal 1 % 80 % 1.760 T
Mayoritas/Rakyat biasa 99 % 20 % 440 T
Jumlah 100 % 2.200 T
Dari ilustrasi tersebut dapat dipahami bahwa pendapatan nasional dan pertumbuhan ekonomi tidak berhubungan dengan pengentasan kemiskinan dan pengangguran selama paradigma struktur ekonomi tidak berubah (Baca: selama sumber-sumber ekonomi hanya dikuasai oleh para pemilik modal). [Suprayitno - Bogor]
Stabilitas Ekonomi Makro Bukan Solusi Permasalahan Ekonomi
Seperti yang dipahami oleh para ekonom kapitalis bahwa stabilitas ekonomi makro merupakan jalan utama untuk menyelesaikan problem utama ekonomi. Dengan kata lain bahwa stabilnya kondisi ekonomi makro merupakan kunci utama untuk menyelesaikan kemiskinan, pengangguran, ketimpangan sosial dan lain-lain. Anggapan yang menyesatkan ini hanyalah penyerderhanaan masalah, bahwa untuk mengatasi kemiskinan, pngangguran dan problem ekonomi hanya dapat dilakukan dengan menjaga stabilitas makro ekonomi, seperti tingkat pertumbuhan ekonomi, laju inflasi, nilai tukar rupiah dan lain-lain.
Seperti yang telah dijelaskan di awal bahwa pertumbuhan ekonomi dan GNP tidak memberikan hubungan linier untuk menyelesaikan masalah ekonomi suatu negara seperti kemiskinan, pengengguran dan lain-lain. Sebaliknya angka-angka tersebut hanya dinikmati oleh para pemilik modal yang menguasai sumber-sumber ekonomi suatu negara. Dengan dipertahankannya kebijakan tersebut, hanya akan melanggengkan dan memberi jalan yang luas bagi pemilik modal untuk semakin melakukan eksploitasi sumber-sumber ekonomi suatu negara. Dengan tetap meninggalkan “PR” bagi pemerintah dan masyarakat berkaitan dengan persoalan kemiskinan dan pengangguran.
Fakta empiris di lapangan menunjukkan bahwa selama ini GNP dan pertumbuhan ekonomi tidak menyelesaikan masalah angka kemiskinan dan pengangguran lihat tabel berikut:
Tabel A.3
Sumber: sumber data : depnakertrans, Bappenas, BPS
Tahun GNP Pertumbuhan Ekonomi (%) Kemiskinan (%) Pengangguran (Juta Orang)
1997 7.8 3,45 21.56 4,28
1998 4.7 0,79 24.23 5,06
1999 -13.3 2,89 23.43 6,03
2000 0.79 4,92 19.14 5,86
2001 4.8 3.82 17.41 8
2002 3.3 4.41 18.2 9,13
2003 3.7 4.9 17.42 10,3
2004 5.13 16.66 10,83
2005 5.64 15.97 11,19
2006 5.13 17.75 11,85
Tabel di atas menunjukkan dengan gamblang bahwa selama ini naiknya GNP tidak disertai dengan turunnya angka kemiskinan dan pengangguran. Yang terjadi justru sebaliknya, semakin meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi maka jumlah kemiskinan dan pengangguran justru semakin meningkat. Di samping itu adalah sangat sulit kalau boleh dibilang mustahil untuk menyelesaikan masalah kemiskinan dan pengangguran dengan berlandaskan pada perubahan laju pertumbuhan ekonomi.Hal ini dikarenakan perubahan nilai pendapatan nasional tidaklah mencerminkan perubahan kondisi tingkat perekonomian individu-individu di dalam suatu negara,
Struktur keuangan negara menjadi penyebab instabilitas ekonomi makro. Dengan sistem mata uang kertas yang tanpa didukung/diback-up penuh dengan emas, maka nilai tukar rupiah akan menjadi bulan-bulanan terhadap mata uang asing seperti dollar, poundsterling, Euro dan lain-lain. Kondisi rentannya nilai tukar rupiah seperti yang terjadi di tahun 1998 ketika nilai rupiah terdepresiasi dengan US dollar hingga pada tingkat Rp 16.000 per US $ 1. Sistem mata uang kertas rentan terhadap aktifitas gambling, dijadikannya mata uang sebagai komoditas barang dagangan. Kondisi tersebut menyebabkan selain ketidakstabilan nilai tukar rupiah, akan juga berimbas pada laju inflasi dan suku bunga SBI.
Secara umum penyebab instabilitas makro ekonomi terjadi karena (1) sistem moneter yang tidak menjamin kestabilan nilai tukar mata uang rupiah dengan mata uang asing, (2) hal tersebut sebagai akibat dari mata uang yang tidak dibangun dengan sistem emas dan adanya kegiatan perdagangan mata uang (3) selain itu inflasi rentan terjadi dikarenakan terkait naik turunnya depresiasi mata uang rupiah dengan mata uang asing serta kebijakan politik ekonomi yang tidak pro-rakyat.
Kegiatan moneter yg bertumpu pada jual – beli surat-surat berharga dan saham di pasar saham juga memberikan kontribusi bagi kerapuhan ekonomi suatu negara. Tingginya aktifitas perdagangan saham di pasar keuangan tidak menjamin membaiknya ekonomi dan memberikan solusi terhadap masalah kemiskinan dan pengengguran. Pada faktanya aktifitas perdagangan saham tersebut bertumpu pada ekonomi sektor non-riil. Masuknya modal asing melalui pasar modal justru menimbulkan kondisi yang rawan bagi ambruknya kegiatan ekonomi, karena penarikan modal asing melalui pasar modal bisa terjadi sewaktu-waktu dan hal ini rawan menimbulkan gejolak di pasar modal ini dapat berimbas pada lemahnya kegiatan ekonomi di suatu negara.
Kekeliruan di balik Paradigma penyusunan APBN
Kalau diperhatikan secara mendalam, sebenarnya kekeliruan paradigma penyusunan APBN merupakan buah dari kekeliruan paradigma atau cara pandang tentang ekonomi dan pembangunan. Ekonom kapitalis memandang bahwa problem ekonomi adalah kelangkaan barang dan jasa yaitu banyaknya kebutuhan manusia sedangkan alat pemuas kebutuhan terbatas, Padahal faktanya alat dan pemuas kebutuhan manusia cukup melimpah untuk dapat memenuhi kebutuhan manusia tetapi yang terjadi sebenarnya adalah penyebaran/distribusi yang tidak merata. Dari masalah tersebut, maka solusi yang yang ditawarkan ekonom kapitalis yaitu memproduksikan barang dan jasa sebanyak-banyaknya, sehingga jumlah barang dan jasa menjadi melimpah.
Berangkat dari asumsi tersebut, ekonom kapitalis berpandangan bahwa pembangunan ekonomi diarahkan untuk mencapai pendapatan nasional (GNP) yang diharapkan. Pertumbuhan ekonomi dan GNP yang tinggi merupakan tujuan sekaligus solusi berbagai macam permasalahan perekonomian nasional, seperti kemiskinan dan pengangguran. Menurut An-Nabhani dalam kitab Nidzam iqtishadi fil islam (2001 :37 ), politik ekonomi pertumbuhan adalah keliru dan tidak sesuai dengan realitas, serta tidak akan menyebabkan meningkatnya taraf hidup dan kemakmuran bagi setiap individu secara menyeluruh. Politik ekonomi kapitalis ini menitikberatkan pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan manusia secara kolektif yang dicerminkan dengan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Akibatnya pemecahan permasalahan ekonomi terfokus pada barang dan jasa yang dapat dihasilkan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi, bukan pada individu manusianya. Sehingga pembahasan ekonomi yang krusial untuk dipecahkan terfokus pada masalah peningkatan produksi.
Logika ekonomi kapitalis adalah pendapatan nasional dibagi dengan jumlah penduduk merupakan pendapatan perkapita. Makin besar GNP, makin besar pula pendapatan per-kapita. Semakin besar pendapatan per-kapita maka semakin makmur suatu negara. Seperti yang dikatakan Wapres bahwa dengan Pendapatan Negara kita sekarang yang lebih dari Rp. 3.000 triliun. Maka jika dibagi, pendapatan perorang dalam setiap tahun sudah 1.525 dolar AS atau 127 dolar AS per bulan setara dengan Rp 1.156.500. Akan tetapi fakta dilapangan menunjukkan bahwa masih banyak penduduk di negeri ini yang berpenghasilan dibawah angka tersebut.
Berangkat dari asumsi tersebut, maka untuk mencapai target pendapatan nasional maka dicapai dengan pertumbuhan ekonomi setiap tahun. Misalnya pendapatan nasional tahun sebelumnya 1.000 Triliun, apabila target pendapatan nasional tahun ini 1.200 Triliun, maka dapat dicapai dengan target pertumbuhan ekonomi sebesar 20%.Terkait dengan penyusunan APBN, untuk pencapaian tingkat pertumbuhan ekonomi yang diharapkan, maka pemerintah mengalokasikan dana untuk menggerakkan kegiatan ekonomi baik secara langsung maupun tidak langsung melalui pengeluaran pemerintah yang dianggarkan dalam APBN.
Kekeliruan asumsi ekonomi kapitalis tersebut adalah dalam memandang indikator kemakmuran bangsa dengan mengkaitkan dengan pendapatan perkapita. Sebagaimana disinggung pada pembahasan sebelumnya, pendapatan nasional yang tinggi tidak mencerminkan pendapatan per-orang, melainkan boleh jadi hanya segelintir minoritas yang berkontribusi atau menguasai pendapatan nasional tersebut. Jadi sangat menyesatkan membagi total pendapatan nasional dengan jumlah penduduk, sehingga terdapat penghasilan per-individu warga negara, padahal kenyataannya pendapatan naional tersebut dimiliki para pemilik modal.
Penelitian Aris Ananta dkk (1995) menunjukkan bahwa pada tahun 1993, 40 persen (75,3 juta jiwa) lapisan masyarakat yang berpendapatan paling bawah (US$ 266) hanya menikmati 14,6 persen pendapatan nasional dan 40 persen (75,3 juta jiwa) lagi penduduk lapisan berpendapatan menengah (US$ 755) menikmati 41,52 persen pendapatan nasional, sedangkan 20 persen (37,7 juta jiwa) lapisan masyarakat berpendapatan tertinggi (US$ 2.592) menikmati 43,87 persen pendapatan nasional
Dari gambaran tersebut tampak jelas rusaknya konsep pendapatan per-kapita sebagai tolak ukur tingkat kemakmuran suatu bangsa. Konsep ini hanyalah kompatible apabila di terapkan pada msyarakat yang menganut sistem ekonomi kapitralis murni dimana komposisi kepemilikan sumber-sumber ekonomi dibagi secara merata kepada rakyat per-individu. Celakanya selama ini kita telah terbiasa dibohongi bahwa indikator keberhasilan pembangunan ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi. Padahal kenyataanya yang menikmati pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional hanyalah segelintir pemilik modal yang menguasai sumber-sumber ekonomi strategis.
Dari paparan tersebut jelas bahwa sampai saat ini kekeliruan paradigma penyusunan APBN tetap menjadikan kemiskinan dan pengangguran menjadi problem yang tidak akan pernah terselesaikan [Suprayitno - Bogor]
*Artikel Berseri hasil Kajian Forum Ekonomi Islam
PENDAHULUAN
Kondisi sosial, politik dan ekonomi mempunyai pengaruh terhadap perkembangan pasar modal, seperti halnya di Indonesia. Perdagangan surat berharga telah mulai dilakukan bersamaan dengan dibukanya Bursa Efek Indonesia pada tanggal 3 Juni 1952 dan sempat terhenti pada tahun 1958 karena kondisi sosial politik yang tidak stabil. Dengan mulai membaiknya kondisi sosial politik Indonesia, maka sejak tanggal 10 Agustus 1977 Pasar Modal Indonesia dibuka kembali dan sejak saat itu disebut sebagai awal kebangkitan Pasar Modal Indonesia.
Fenomena-fenomena pada kondisi sosial, politik dan ekonomi, seperti halnya krisis ekonomi yang telah melanda negara kita mempunyai kontribusi yang besar dalam mempengaruhi perkembangan pasar modal di Indonesia.
Dalam upaya meminimalkan risiko, seorang analis atau investor yang menanamkan modalnya di Bursa Efek, perlu memperhatikan hal-hal yang berkaitan atau mempengaruhi kondisi perkembangan investasi yang dicerminkan pada Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG).
Dengan menggabungkan informasi-informasi mengenai kondisi makro ekonomi, akan dapat dikaji suatu hubungan antara dunia investasi yang dalam hal ini dicerminkan oleh IHSG dengan beberapa indikator ekonomi. Hubungan yang terjadi diantara indikator-indikator tersebut diharapkan menghasilkan informasi yang dapat bermanfaat untuk kepentingan investasi di Pasar Modal, khususnya di Indonesia.
TUJUAN PENELITIAN
Dalam penulisan ini, masalah yang menjadi dasar penelitian adalah “Bagaimana mengungkap secara sistematis hubungan antara indikator-indikator ekonomi makro terhadap IHSG di Bursa Efek Jakarta (BEJ) sebagai masukan bagi para analis dalam pengambilan keputusan investasi di pasar modal Indonesia” . Dengan demikian penelitian ini bertujuan untuk :
a. Mengkaji hubungan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dengan :
1. Tingkat inflasi/deflasi
2. Suku bunga yang dicerminkan oleh SBI
3. Nilai tukar Rupiah terhadap US$
4. Pertumbuhan jumlah uang beredar (Ms)
5. Pertumbuhan produk domestik bruto (GPDB)
b. Mengkaji dampak yang ditimbulkan indikator-indikator ekonomi terhadap keputusan investasi di Pasar Modal khususnya di Indonesia
TINJAUAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS
Pengertian Indeks Harga Saham Gabungan
Menurut J. Supranto, M.A. (1992), Indeks Harga Saham Gabungan yang menjadi ukuran situasi pasar modal di Indonesia sebenarnya merupakan angka indeks harga saham berupa perubahan harga saham dari waktu ke waktu yang dapat dipergunakan untuk membandingkan kegiatan atau peristiwa pada saat itu.
Rumusan Indeks Harga Saham Gabungan, (Vonny Dwiyanti, S.Sos., 1999
Kembali
Di tengah krisis global yang sempat melanda Indonesia, di tengah menurunnya tingkat pertumbuhan ekonomi nasional, di tengah kemiskinan yang belum juga terselesaikan, di tengah maraknya pengangguran yang masih tetap menganggur, dan di tengah setumpuk persoalan bangsa saat ini pemerintah terus melakukan upaya- upaya untuk meningkatkan kesejahteraan bangsa. Untuk mengatur upaya tersebut dibuatlah RAPBN 2010 untuk melanjutkan serta memperbaiki APBN 2009. Lalu, pantaskah bangsa ini optimis melihat masa depan jika kita menganalisa RAPBN 2010?
Dalam penyusunannya pemerintah telah menetapan beberapa asumsi makro perekonomian sebagai berikut
INDIKATOR EKONOMI 2009 2010
APBN RAPBN-P RAPBN
1. Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,0 4,3 5,0
2. Inflasi (%) 6,2 5,0 5,0
3. Nilai Tukar (Rp/US$) 9.400 10.600 10.000
4. Suku Bunga SBI- 3 Bulan (%) 7,5 7,5 6,5
5. Harga Minyak (US$/ Barel) 80,0 61,0 60,0
6. Lifting Minyak (Juta Barel/Hari 0,960 0,960 0,965
sumber : Departemen Keuangan
Berdasarkan asumsi dasar ini kita bisa melihat pemerintah cukup optimis dalam melihat perkembangan ekonomi 2010. Beberapa indikator ekonomi dipatok lebih baik dari tahun 2009 seperti pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi dan harga minya dunia.
Selain itu, RAPBN 2010 mencatatkan beberapa perubahan lain misalnya turunnya defisit anggaran menjadi sebesar Rp 98,0 triliun atau turun sebesar Rp35,0 triliun pada RAPBN tahun 2009 yang sebelumnya berkisar di angka Rp 133,0 triliun. Pendapatan negara dan hibah direncanakan mencapai Rp911,5 triliun, atau meningkat Rp38,8 triliun dari sasaran RAPBN Perubahan (RAPBN-P) tahun anggaran 2009. Dan juga belanja negara direncanakan mencapai Rp1.009,5 triliun, yang berarti lebih tinggi sebesar Rp3,8 triliun dari yang dianggarkan dalam RAPBN-P tahun 2009.
Pada tahun 2010 ini pemerintah telah menetapkan perekonomian 2010 sebagai "Pemulihan Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat", sebagai Tema Rencana Kerja Pemerintah (RKP) 2010. Hal ini mengingat adanya krisis finansial yang menghantam hampir semua negara- negara di dunia ini termasuk Indonesia pada akhir tahun 2008. Selama 2009 perekonomian Indonesia dirasa sangat terganggu oleh krisis maka pada 2010 inilah waktu yang tepat untuk menata kembali sistem dan infrastruktur ekonomi yang ada.
Sesuai dengan tema tersebut, dalam RKP tahun 2010 ada lima agenda program pembangunan nasional. Kelima agenda tersebut adalah, Pertama, pemeliharaan kesejahteraan rakyat utamanya masyarakat miskin, serta penataan kelembagaan dan pelaksanaan sistem perlindungan sosial.
Kedua, peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia. Ketiga, pemantapan reformasi birokrasi dan hukum, serta pemantapan demokrasi dan keamanan nasional. Keempat, pemulihan ekonomi yang didukung oleh pembangunan pertanian, infrastruktur, dan energi; dan
Kelima, peningkatan kualitas pengelolaan sumber daya alam dan kapasitas penanganan perubahan iklim.
Dari kelima agenda tersebut dan memperhatikan arah Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional ke-2 (RPJMN ke-2), dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025, maka RKP 2010 disusun dengan tujuan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang. Dengan menekankan peningkatan kualitas sumber daya manusia, termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta peningkatan daya saing perekonomian.
Lalu bagaimana realisasi RAPBN dalam mengentaskan masalah pokok bangsa seperti kemiskinan, pendidikan, keterbatasan kesehatan. Seyogyanya tugas negara adalah membuat rakyatnya hidup dalam kesejahteraan, kedamaian, dan ketenangan. Maka, tidak heran jika APBN diharapkan mampu menyelesaikan masalah- masalah bangsa tersebut.
APBN diamanatkan dalam bidang salah satunya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Bagaimanakah sebenarnya cara untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia? Hal yang paling mendasari kualitas sumber daya manusia dewasa ini ialah dengan meningkatkan kualitas pendidikannya. Selain itu pendidikan yang rendah di suatu negara erat kaitannya dengan kemiskinan di negara tersebut. Dengan kata lain negara yang tidak memperhatikan pendidikan rakyatnya hampir bisa dipastikan tidak akan berkembang negara tersebut. Melihat realita yang terjadi di Indonesia, mulai timbul keraguan terhadap komitmen pemerintah baik dalam memajukan pendidikan nasional maupun terhadap pedoman- pedoman dalam RAPBN yang mereka buat sendiri. ketika anggaran untuk pendidikan harus diturunkan. Pada 2010, total anggaran pendidikan akan mencapai Rp 195,636 triliun atau rasionya 20% dari total alokasi belanja negara di 2010 yang jumlahnya sekitar Rp 330 triliun. Porsi anggaran pendidikan 2010 itu berarti turun hingga Rp 11,777 triliun dibandingkan dengan tahun 2009.
Pada 2009 pemerintah pemerintah mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar Rp 207,413 triliun atau 21% dari total alokasi belanja negara yang besarnya Rp 333,5 triliun. Padahal, melihat keadaan pendidikan kita baik kualitas maupun kuantitas masih dirasa kurang. Ini dibuktikan dengan masih banyaknya sekolah yang tidak memadai untuk dilakukan kegiatan belajar mengajar. Malah tidak sedikit sekolah yang jarak dengan pemukiman warga sangat jauh sehingga anak sekolah yang ingin sekolah harus menempuh jarak yang sangat jauh. Ini menunjukkan sangat tidak meratanya pendidikan di tanah air.
Hal ini jelas mengkhawatirkan. Bagaimana mutu pendidikan bisa meningkat jika dengan anggaran yang ada saja pendidikan Indonesia masih rendah, dan sekarang pada RAPBN 2010 anggaran pendidikan malah diturunkan. Pendidikan gratis di Indonesia sepertinya hanya tinggal menjadi harapan. Ataukah memang pemimpin negeri ini menginginkan warga negaranya menjadi pahlawan devisa (baca : TKI) karena dengan tingkat pendidikan relatif rendah mereka bekerja di luar negeri dan menghasilkan devisa negara yang cukup besar. Apakah para bapak- bapak dan ibu- ibu yang nyaman duduk di kursi empuk itu bangga warga negaranya menjadi warga negara kelas buruh?
Apakah alasan yang digunakan pemerintah untuk menurunkan anggaran pemerintah? Apabila rendahnya daya serap APBN tahun- tahun sebelumnya di bidang pendidikan menjadi penyebabnya maka penurunan nilai anggaran sama sekali bukan jawabannya. Departemen pendidikan sebagai pelaksana anggaran haruslah lebih ditekan untuk mengoptimalkan penyerapan APBN. Bukan dengan menurunkan anggaran itu sendiri. Sangatlah ironis apabila kesalahan yang dilakukan aparatur pemerintah harus ditanggung oleh masyarakat miskin yang menambakan pendidikan yang murah dan berkualitas.
Setelah anggaran diturunkan walaupun pemerintah dengan cerdiknya mengatur rasio anggaran tersebut di level 20 % ditengarai terdapat beberapa kejanggalan. Dari alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah yang disebutkan Rp 122,79 triliun, dari penelusuran ternyata hanya senilai Rp 28,28 triliun. Total alokasi di bagian belanja pemerintah pusat senilai Rp 79,13 triliun. "Jika temuan ini benar, anggaran pendidikan nasional hanya Rp 108,25 triliun atau sekitar 10,7 persen dari RAPBN 2010 .
Kejanggalan lain yang ditemukan, dalam Bab IV halaman 119 dokumen Nota Keuangan tahun 2010 disebutkan total anggaran Depdiknas sebesar Rp 51,79 triliun. Tetapi di dalam penjelasan pasal 21 ayat i RUU APBN 2010, total anggaran Depdiknas tahun 2010 hanya Rp 51,51 triliun.
Penurunan anggaran di Depdiknas yang tahun ini berjumlah Rp 61,52 triliun juga dinilai mengkhawatirkan. Kualitas pendidikan serta akses langsung dari daerah sangat dipertanyakan kemampuannya dengan turunnya anggaran ini.
Di saat negara- negara lain telah maju meninggalkan negara tercinta, pemimpin negeri ini malah tidak berpikir bagaimana pemuda-pemudi tanah air mampu bersaing secara global, namun hanya berpikir bagaimana mengakali APBN agar sesuai dengan amanat undang- undang.
Setumpuk masalah masih menghantui pendidikan nasional. Walaupun dana pendidikan dianggarkan oleh APBN, namun tetap juga dituntut pengelolaannya oleh departemen pendidikan. Nilai 20% dari APBN walaupun mungkin memang kurang namun apabila dikelola dengan baik maka dipercaya kualitas pendidikan di Indonesia bisa meningkat. Apalagi dengan belum optimalnya penyerapan dana APBN oleh departemen pendidikan dan belum meratanya kualitas pendidikan di daerah- daerah.
Dengan diaturnya anggaran pendidikan oleh undang- undang sebesar 20% maka tidak seperti departemen lain, departemen pendidikan tidak perlu lagi “meminta” anggaran dalam APBN. Hal ini berpotensi menimbulakn moral hazard bagi departemen pendidikan itu sendiri. Dikhawatirkan akan muncul rasa “bodo amat” dalam mengurusi pendidikan karena bagaimanapun dana pendidikan itu dikelola toh departemen pendidikan akan selalu mendapat anggaran 20% dari APBN. Untuk itu diperlukan peran aktif dari DPR maupum masyarakat dalam menjaga arah pendidikan Indonesia dan pengelolaannya.
Tidak hanya masalah pendidikan yang patut disoroti. Beberapa poin dalam RAPBN dinilai tidak berpihak pada rakyat kecil, terlihat dari minimnya anggaran yang dialokasikan pemerintah untuk pembangunan desa tertinggal. Untuk membangun infrastruktur pedesaan, pemerintah hanya menganggarkan kurang dari Rp 1 triliun. Padahal jumlah desa mencapai sekitar 70 ribu, 32 ribu diantaranya masuk kategori desa tertinggal. Kesan yang timbul ialah pemerintah pusat sangat memikirkan pembangunan tanpa diimbangi oleh pemerataan pembangunan itu sendiri.
Peningkatan secara kontinus terus terjadi selama 5 tahun terakhir. Dari 2005 sampai 2009 terjadi peningkatan APBN yang besar- besaran. Namun Selama ini belum ada korelasi yang terukur antara peningkatan rupiah dalam APBN dan peningkatan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Anggaran belanja pada APBN 2005 yang sebesar 509.632,4 meningkat tajam pada 2010 menjadi sebesar 1.009.485,7 tidak diimbangi dengan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Indikator utama kemakmuran rakyat yang sering menjadi acuan adalah pengangguran dan kemiskinan. Jadi semestinya peningkatan APBN juga diikuti oleh peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia sebesar itu pula. Namun faktanya ketika APBN meningkat hampir 100% dalam lima tahun terakhir kemiskinan di Indonesia berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin turun sebanyak 2,57 juta, dari 35,10 juta pada Maret 2005 menjadi 32,53 juta pada Maret tahun 2009. Sedangkan angka kemiskinan, turun dari 15,97 persen menjadi 14,15 persen. Selain itu bila menggunakan angka tahun 2008 dan 2009, pengangguran turun sekitar 13,6 persen, dari 9,2 persen menjadi 8,1 persen. Artinya, peningkatan belanja negara masih belum seimbang dengan penurunan angka pengangguran dan kemiskinan. Inilah tugas besar pemerintah untuk menyelesaikannya.
Pembahasan RAPBN 2010 haruslah makin fokus, sesuai tema besarnya, yakni "Pemulihan Perekonomian Nasional dan Pemeliharaan Kesejahteraan Rakyat" . Sehingga peningkatan APBN sebanding atau lebih besar dampaknya bagi peningkatan kemakmuran rakyat. Dengan demikian, dirasakan langsung makna ideologis tiap bertambahnya rupiah APBN bagi makin sejahteranya kehidupan rakyat.
RAPBN 2010 juga merupakan gambaran komitmen pemerintahan SBY-Boediono atas keberpihakannya pada rakyat kecil. Pemilu yang belum setahun, janji- janji seharum surga, kampanye- kampanye yang memabukkan hati masih terngiang jelas di hati masyarakat Indonesia. Kita sebagai rakyat Indonesia harus terus mengawal pemerintahan baru untuk tetap berpihak pada masyarakat kecil.
Contohnya pada saat presiden yang kini terpilih kembali melakukan kampanye sebelum pemilu di hari sabtu sabtu tanggal 4 Julia di Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta. Pasangan yang dulu masih menjadi calon presiden itu menjanjikan pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen. Lantas berkali – kali beliau mengampanyekan pendidikan gratis di Indonesia. Sekarang bagaimana caranya pendidikan gratis jika anggaran pendidikan malah diturunkan?
Pemulihan dan pembangunan ekonomi memang butuh proses. Kita tidak bisa berharap pemerintah mampu menghilangkan kemiskinan dengan sekejap karena memang masalah kemiskinan bukan masalah membalik telapak tangan. Dibutuhkan usaha keras dan koordinasi dari tiap pihak untuk mendukung kesejahteraan rakyat.
Maka dari itu, selain mengkritisi kita juga harus mengawasi pengelolaan APBN dan penyerapannya. Program yang terkoordinasi, berkelanjutan, bertujuan mensejahterakan masyarakat, apabila ditambah dengan rasa tanggung jawab bagi sang pelaksana dan pengawasan langsung dari masyarakat, tidaklah hilang harapan rakyat miskin yang mendambakan pendidikan gratis, lapangan pekerjaan yang luas, kehidupan yang layak, dan kesejahteraan seluruh warga negara Indonesia.
Semoga pertumbuhan dan pembangunan Indonesia terus dilakukan ke arah yang lebih baik. Semoga pejabat- pejabat pemerintah semakin sadar akan amanah yang diembannya yaitu mensejahterakan rakyat Indonesia. Semoga rakyat Indonesia semakin makmur. Semoga seluruh anak bangsa bisa menikmati kehidupan di tanah air leluhurnya ini. Hingga sang Ibu Pertiwi bisa tersenyum menyaksikan pemuda- pemudi bangsa mampu mengharumkan sangsaka merah putih dengan gagahnya. Hiduplah Indonesia Raya...
Selasa, 02 Maret 2010
Asumsi Ekonomi Makro dalam Penyusunan APBN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar