Rabu, 03 Maret 2010

Tingkat kemiskinan dan pengangguran

. Rabu, 03 Maret 2010

terbuka dipastikan bertambah akibat dampak krisis keuangan global.

Hal ini diakui Plt Menko Perekonomian/Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Menurut dia, krisis keuangan global membuat target penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan tidak akan terealisasi. Target penurunan tingkat kemiskinan menjadi 11,5 persen di awal 2010 justru meningkat menjadi 13,5 persen. Sedangkan target tingkat pengangguran terbuka sebesar 7,4 persen dari jumlah angkatan kerja, diperkirakan juga berubah terkait dampak krisis tersebut. "Karena terjadi krisis, tingkat pengangguran terbuka naik menjadi 8,3 sampai 8,9 persen," kata Sri Mulyani dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR di Jakarta, Selasa (27/1).


 


Seperti diketahui, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2009, pemerintah mengalokasikan anggaran yang bertujuan untuk mempertahankan daya beli masyarakat. Ini disampaikan pemerintah dalam menyampaikan program mengatasi dampak krisis global melalui stimulus fiskal APBN 2009 kepada DPR. "Ekonomi dan keuangan global sedang mengalami turbulensi dengan skala yang lebih besar dibanding krisis tahun 1997/1998 lalu," ujarnya.

Menurut Sri Mulyani, dampak krisis global ke sektor riil hingga saat ini masih nyata dengan adanya peningkatan pengangguran di berbagai negara. "Proyeksi pertumbuhan ekonomi global mengalami koreksi hampir setiap bulan dan diperkirakan masih akan mengalami koreksi," ucapnya.

Total stimulus fiskal pada APBN 2009 dalam rangka mengantisipasi dan penanganan dampak krisis global mencapai Rp 71,3 triliun atau sekitar 1,4 persen dari produk domestik bruto (PDB).

Pemerintah memerinci jumlah stimulus fiskal itu terdiri dari penghematan pembayaran pajak sebesar Rp 43 triliun atau 0,8 persen dari PDB dan stimulus lain berupa subsidi pajak dan bea masuk ditanggung pemerintah (PPNDTP dan BMDTP) untuk eksplorasi migas dan minyak goreng sebesar Rp 3,5 triliun (0,07 persen dari PDB). Di samping itu, BMDTP bahan baku dan barang modal Rp 2,5 triliun (0,05 persen dari PDB) serta pajak penghasilan (PPh) karyawan Rp 6,5 triliun (0,12 persen dari PDB) dan PPh panas bumi Rp 0,8 triliun (0,02 persen).

Selanjutnya, terdapat subsidi dan belanja kepada dunia usaha dan penciptaan lapangan kerja. Ini terdiri dari penurunan harga solar (subsidi solar) Rp 2,8 triliun (0,05 persen), diskon beban puncak listrik industri Rp 1,4 triliun (0,03 persen), tambahan belanja infrastruktur Rp 10 triliun (0,2 persen), dan perluasan program nasional pemberdayaan masyarakat (PNPM) sebesar Rp 0,6 triliun atau 0,01 persen dari PDB.

Berdasarkan catatan, pemerintah Malaysia paling besar memberikan stimulus fiskal hingga mencapai 4,4 persen dari PDB. Sementara negara lain, seperti AS sebesar 1,2 persen, Inggris 1,1 persen, China 0,6 persen, Jepang 1,0 persen, dan Korea Selatan 0,9 persen. Negara lainnya, seperti Australia sebesar 1,5 persen, India 0,9 persen, Singapura 1,1 persen, dan Thailand 1,8 persen.

Realisasi

Terkait hal ini, sejumlah anggota Komisi XI DPR mengkhawatirkan program stimulus fiskal yang diberikan pemerintah hanya akan menjadi sekadar angka saja atau tanpa realisasi. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional (FPAN) Rizal Djalil mengatakan, penyerapan anggaran hingga saat ini masih menjadi masalah besar. Karena itu, jika tidak ada langkah-langkah konkret mengatasi masalah penyerapan anggaran tersebut, maka angka-angka stimulus fiskal itu hanya akan tinggal angka saja. "Yang penting bagaimana anggaran terserap serta ada langkah-langkah konkret mengatasi masalah yang ada," katanya.

Senada dengan Rizal, anggota Komisi XI DPR dari Fraksi PKS Rama Pratama menyatakan perlunya program untuk mencegah rendahnya penyerapan anggaran. "Program ini harus dilaksanakan secara konsisten sehingga masalah penyerapan anggaran tidak terus-menerus terjadi," ujarnya.

Dia lantas menyebutkan, pemerintah sebenarnya sudah mengidentifikasi adanya masalah rendahnya penyerapan anggaran sejak sekitar tiga tahun yang lalu. Namun masalah tersebut masih dihadapi hingga saat ini dan terkesan tidak terselesaikan. "Jadi, jangan sampai stimulus fiskal hanya bersifat slogan atau menjadi kampanye politik saja," tuturnya.

Kekhawatiran masalah penyerapan anggaran tersebut juga datang dari kalangan pengusaha nasional. Untuk itu, kalangan dunia usaha mendesak pemerintah untuk segera merealisasikan paket stimulus ekonomi 2009 yang telah dijanjikan pemerintah. Apalagi terdapat perubahan orientasi pemerintah dalam memberikan stimulus ekonomi. Dalam hal ini, sebagian prioritas stimulus ekonomi bergeser dari pemberian pajak pertambahan nilai dan bea masuk ditanggung pemerintah (PPNDTP/BMDTP) dialihkan ke insentif pajak penghasilan (PPh).

Menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), hingga saat ini terlihat bahwa langkah pemerintah memberikan stimulus sangat lamban, terutama terkait dengan keringanan PPh. Padahal, saat ini kalangan pengusaha berburu dengan waktu, karena tingkat pesanan produk dari beberapa sektor mengalami pembatalan dan ini terkait langsung dengan kebijakan untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK). "Paket stimulus, termasuk yang dialihkan dalam bentuk PPh, belum tentu membantu pengusaha. Misalnya PPh 25 agar bisa segera disesuaikan dengan cepat, sehingga kita bisa mencicil dan akhir tahun kita bayar sisanya. Namun semuanya masih dibicarakan dan meminta persetujuan dari DPR," katanya.

Keringan pajak PPh pasal 21 juga dinilai kurang signifikan. Berdasarkan kenyataan di lapangan, tenaga kerja di sektor usaha yang terlilit dampak krisis keuangan global pada umumnya belum masuk dalam kategori penghasilan kena pajak. "Informasi dari para serikat pekerja, umumnya mereka tidak membayar karena penghasilannya masih di bawah Rp 1,3 juta. PPh 21 itu tidak ada manfaatnya. Ini bukan karena PPh 21-nya, tapi karena kita tidak ada order (pesanan)," tuturnya. (Indra)

0 komentar:

 
Powered By Blogger

downloadnya muslim

{nama-blog-anda} is proudly powered by Blogger.com | Template by Agus Ramadhani | o-om.com