Sabtu, 27 Februari 2010

Dampak Krisis Pangan Bagi Indonesia

. Sabtu, 27 Februari 2010

Resesi global, menurut PBB, akan sangat memukul negara-negara miskin, memperlambat pertumbuhan perdagangan dunia, dan ada kemungkinan mengakhiri booming harga komoditas yang sedang berlangsung. Bank Dunia dan Bank Pembangunan Asia memperkirakan emerging market Asia, termasuk Indonesia, relatif tak akan terlalu terpukul oleh resesi AS, meski juga tak sepenuhnya terbebas dari dampaknya.
Keyakinan ini didasari pada kokohnya fundamental makroekonomi, solidnya posisi neraca eksternal (neraca transaksi berjalan/neraca perdagangan), kebijakan prudensial di sektor perbankan dan keuangan, serta relatif sudah berkurangnya ketergantungan pada pasar AS.Singkatnya, Asia sekarang ini bukan Asia sebelum krisis 1997/1998. Survei Nielsen Company juga menunjukkan masih sangat kuatnya optimisme konsumen Asia bahwa resesi tidak akan terjadi. Kendati demikian, ADB dan Bank Dunia mengingatkan, resesi dan gejolak pasar uang global masih berpotensi memunculkan guncangan dan turbulensi di pasar regional.

Ada beberapa saluran transmisi dampak resesi ekonomi AS ke perekonomian dalam negeri. Pertama, lewat perdagangan. Meski ketergantungan terhadap AS sudah tak sebesar dulu, AS sekarang ini masih pasar utama ekspor Asia, termasuk Indonesia. Sekitar 60 persen ekspor emerging economies Asia tertuju pada AS, negara-negara di zona euro Eropa dan Jepang (G3) yang seluruhnya terkena imbas resesi AS. Untuk Indonesia, sumbangan pasar AS terhadap ekspor 13-14 persen. Bappenas memperkirakan resesi AS akan mengurangi ekspor Indonesia ke AS 2 miliar dollar AS tahun ini.





Turunnya permintaan negara maju juga akan membawa konsekuensi lain, yakni meningkatnya sentimen proteksionisme di AS dan semakin membanjirnya produk murah China di pasar Indonesia. Ini pukulan baru bagi industri manufaktur kita. Kedua, lewat pasar uang. Meningkatnya persepsi risiko investasi di emerging markets bisa memicu perubahan mendadak sentimen pasar dan penarikan modal oleh investor. Apalagi dengan sudah adanya indikasi asset bubble, ditandai oleh naiknya harga saham dan properti di atas kewajaran.

Jadi, ada risiko terjadinya koreksi tajam yang mengakibatkan guncangan di pasar uang atau perekonomian. Arus modal jangka pendek sekarang ini menyumbang sekitar 60 persen dari total arus modal masuk ke Asia. Kemungkinan pembalikan mendadak arus modal secara besar-besaran, ditambah melemahnya dollar AS seiring resesi AS, akan semakin menekan rupiah.

Resesi global menambah ketidakpastian baru bagi perekonomian Indonesia yang tengah dihadapkan pada banyak tekanan, seperti lonjakan harga minyak mentah dan kenaikan harga barang kebutuhan pokok yang kian menekan daya beli/ konsumsi masyarakat. Target pertumbuhan 6,8 persen terancam tidak tercapai sebagaimana target pertumbuhan tiga tahun pertama. Hal ini akan berpengaruh pada kemampuan penciptaan lapangan kerja dan mengurangi kemiskinan.

Dari sisi kebijakan moneter, tampaknya tidak ada lagi ruang manuver untuk menurunkan suku bunga guna mendorong perekonomian di tengah meningkatnya tekanan inflasi dan kecenderungan naik atau stabilnya suku bunga global. Oleh karena itu, kita hanya bisa berharap pada instrumen fiskal (APBN) yang kini sudah menanggung beban berat berbagai subsidi untuk menggerakkan ekonomi.

Yang lebih memilukan adalah perilaku para komprador pemburu keuntungan yang selama ini kecanduan mengimpor aneka bahan pangan, mulai dari beras, gula, daging, sampai buah-buahan. Karena, impor bahan pangan dapat menyengsarakan para petani, meningkatkan pengangguran, menghamburkan devisa, dan membunuh sektor pertanian yang mestinya menjadi keunggulan kompetitif bangsa. Dewasa ini Indonesia mengimpor sekitar 2,5 juta ton beras/tahun (terbesar di dunia); 2 juta ton gula /tahun (terbesar kedua); 1,2 juta ton kedelai/tahun; 1,3 juta ton jagung/tahun; 5 juta ton gandum/tahun; dan 550.000 ekor sapi/tahun.

Padahal kondisi agroekologis Nusantara cocok untuk budi daya hampir semua bahan pangan tersebut. Buktinya kita pernah mengukir prestasi monumental yang diakui dunia (FAO), swasembada beras pada 1984, yang sebelumnya sebagai pengimpor beras nomor wahid di dunia. Sebelum kebejatan moral merasuk ke tulang sumsum kebanyakan pejabat publik dan elit bangsa ini (sebelum 1986), kita pun mampu berswasembada gula, jagung, dan kedelai.

Hasil penelitian FAO (2000) membuktikan, bahwa suatu negara-bangsa dengan jumlah penduduk lebih dari 100 juta orang, tidak mungkin atau sulit untuk menjadi maju dan makmur, bila kebutuhan pangannya bergantung pada impor. Dan, salah satu penyebab ambruknya bekas negara adidaya Uni Soviet ditengarai karena pemenuhan kebutuhan pangannya bergantung pada pasokan dari negara-negara NATO.

Krisis ketahanan pangan yang diprediksi oleh pemerintah bakal terjadi tahun 2017, sebenarnya mulai mengancam bangsa yang dulu dikenal berhasil melakukan swasembada. Terutama untuk beberapa komoditi penting seperti beras, gula, kedelai dan jagung. Faktor penyebabnya sangat kompleks. Namun, bila ditarik benang merah, hampir bisa dipastikan bahwa pangkal persoalan adalah kurangnya perhatian pemerintah pusat maupun daerah terhadap sektor pertanian sehingga terjadi pembusukan disegala lini.

Sejak satu dasawarsa terakhir ini pembangunan sektor pertanian macet. Pembusukan sektor pertanian itu semakin nyata dengan ditandatanganinya letter of intent antara IMF dengan pemerintah dimana di dalamnya meniadakan proteksi terhadap sektor pertanian. Keterpurukan industri pertanian semakin kukuh dengan perubahan status Indonesia dari eksportir bahan pangan menjadi net importir untuk segala jenis bahan makanan. Sebagai gambaran, impor beras tahun 2007 lalu mencapai 1,5 juta ton. Impor kedelai rata-rata 1 juta ton.

Krisis pangan di Indonesia, yang dapat mengancam perekonomian, adalah gejala dunia, bukan khas Indonesia. Dengan jumlah penduduk 6,3 miliar jiwa, dunia kini dan mendatang akan menghadapi masalah ketahanan pangan. Dari 6,3 miliar penduduk dunia, 200 juta di antaranya tidak bisa tidur setiap malam karena kekurangan makanan. Terhadap gejolak pasar keuangan di Indonesia, Presiden melihatnya sebagai bagian dari gejala global. Dampak kenaikan harga pangan dunia tidak akan membuat kondisi pangan di Indonesia parah seperti saat ini apabila pemerintah menyiapkan ?peredam? sejak awal.

Peredam tersebut berupa produksi komoditas pangan yang memadai, stok pangan cukup untuk pengamanan dan stabilisasi harga, serta jaringan distribusi kuat. Jika salah satu dari ketiga komponen itu tidak memadai, dampak lonjakan harga pangan dunia lebih parah. Indonesia seharusnya tidak menghadapi dampak yang serius karena memiliki potensi besar dalam produksi pangan. Namun, sayangnya hal itu belum dilakukan sungguh-sungguh. Negara lain lebih siap menghadapi kenaikan harga pangan dibandingkan dengan Indonesia. China, misalnya, sejak awal mengamankan stok pangan nasionalnya. Sehingga bisa berkompetisi dengan kenaikan harga dunia.

Sementara Singapura, meski bukan produsen pangan, negara ini mampu bertahan karena aktivitas bisnisnya terus berkembang. Ekonomi Indonesia yang berbasis sistem produksi primer relatif lamban responsnya. Meningkatkan produksi butuh waktu enam bulan, sedangkan masyarakat tidak bisa menunggu selama itu. Karena itu, pemerintah membuat kebijakan ekstra struktural untuk mengatasi masalah pangan.

Liberalisasi perdagangan ASEAN memosisikan Indonesia pada dua kondisi yang dilematis, antara menjadi pasar produk pangan dari luar atau mengekspor produk pangan domestik ke pasar internasional. Kesulitan paling fundamental adalah masalah kuantitas, kualitas, dan kontinuitas serta harga produk kita yang kadang kurang kompetitif.

Membanjirnya jeruk jenis tertentu di pasaran dengan kualitas lebih baik dan harga lebih murah dibanding produk lokal merupakan kenyataan. Mengapa terjadi? Penyebab utamanya adalah biaya transportasi. Sebagai contoh, biaya transportasi dari Medan ke Jakarta lebih mahal dibanding Bangkok-Jakarta akibat tingginya pungutan liar dan infrastruktur yang kurang menunjang, serta belum adanya insentif transportasi produk pertanian.

Mengatasi kondisi ini tentu membutuhkan keberpihakan dalam menekan biaya produksi dan pemasaran produk pertanian, termasuk tata niaga, agar daya saing komoditas pertanian kian kuat. Hampir semua komoditas, mulai bawang merah, wortel, tomat, mangga, jeruk, duku, telur, ikan, daging ayam, secara periodik selalu mengalami tekanan harga luar biasa saat panen raya. Ironisnya, kita juga sering tidak berdaya menahan harga komoditas pangan saat pasokan dalam negeri menurun.
Comments



0 komentar:

 
Powered By Blogger

downloadnya muslim

{nama-blog-anda} is proudly powered by Blogger.com | Template by Agus Ramadhani | o-om.com